Ilustrasi
Oleh : Launa, SIP MM. Terkejut, bingung, sedih, prihatin, dan tentu duka amat mendalam! Itulah kira-kira gambaran perasaan masyarakat Indonesia (juga publik internasional) ketika mendengar berita jatuh dan hancurnya Pesawat Sukhoi Superjet 100 yang menabrak tebing kaki Gunung Salak, di Desa Cidahu, Bogor, Jawa Barat.
Seperti dikisahkan Fanda (46), teman Stephen Kamadi yang ikut serta menumpang dalam penerbangan RA-36801 Sukhoi Superjet100 naas itu. Stephen sempat mengirim foto sebelum pesawat itu terbang. Fanda mengatakan, ia bersama rekannya Raymond (43), sebenarnya diajak Stephen untuk mengikuti joy flight pesawat Rusia itu. Namun, Fanda dan Raymond telat datang, dan pesawat sudah keburu boarding. Karena tidak sempat ketemu, Erdward sempat mengirimkan pesan pendek kepada Fanda. "Gue paling terbang 20 menitan, lo tunggu aja di Dunkin". Namun, Stephen tak pernah kembali, dan itu adalah pesan terakhirnya.
Lokasi jatuhnya pesawat yang hancur dan menewaskan seluruh awaknya itu, persis di bawah tebing Gunung Salak, dengan tingkat kemiringan 85 derajat. Tim evakuasi diberitakan harus turun sekitar 258 meter dari tebing untuk mencapai bangkai Pesawat Sukhoi naas itu. Tim yang akan mengevakuasi 50 jenazah itu, akan menempuh jalur darat, dengan teknik raveling.
Sebelum menabrak tebing, Pesawat Sukhoi Superjet 100 telah melakukan penerbangan sebanyak dua kali. Penerbangan pertama dimulai dari Halim Perdanakusuma menuju Pelabuhan Ratu pukul 12.00 WIB dengan penumpang para pebisnis bidang penerbangan dan wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik.
Setelah penerbangan pertama dari Halim Perdanakusuma ke Pelabuhan Ratu (yang memakan waktu sekitar 35-45 menit), pesawat Sukhoi naas itu kembali ke Halim Perdanakusuma dalam kondisi selamat. Namun, pada penerbangan kedua yang dilakukan pukul 14.12 WIB, pesawat mengalami kecelakaan fatal. Penerbangan kedua mengangkut 50 orang penumpang, delapan orang di antaranya adalah awak pesawat warga negara Rusia, sementara 42 sisanya adalah penumpang lokal.
Seperti dilaporkan oleh berbagai media, di antara para penumpang pesawat Sukhoi Superjet 100 yang naas tersebut terdapat beberapa orang pejabat dari berbagai maskapai penerbangan Indonesia. Di antara para pejabat berbagai maskapai tersbut, diantaranya adalah Aan Suhadiana (Direktur Operasional Kartika Airlines), Darwin Pelawi (Direktur Operasional Pelita Air), Gatot Purwoko (Asisten Direktur Airfast), Peter Adler (Sriwijaya Air), Kornel Sihombing (PT Dirgantara Indonesia), Danardi Rahman (AviaStar), Anton Daryanto (Indonesia Air Transport), Yusuf Ari Wibowo (Sky Aviation), dan beberapa lainnya.
Dari unsur jurnalis, tercatat diantaranya adalah Nam Tran (Snecma, warga Vietnam berkebangsaan Prancis), Rully Darmawan (Indo Asia), Stephen Kamachi (Indo Asia), Ismiyati (Trans TV), Aditya Sukardi (Trans TV), Dodi Aviantara (Angkasa Magazine), DN Yusuf (Angkasa Magazine), dan Femi (Bloomberg). Sementara delapan awak pesawat yang berasal dari Rusia, yang mengawaki Sukhoi Superjet 100, adalah Yabloncev, Kirkin, Kochetkov, Rakhimov, Shvetsov, Martishenko, Grebenshikov, dan Kurzhupova.
Adapun informasi terkait penyebab jatuhnya pesawat Shukoi Superjet 100 itu sendiri belum bisa dipastikan. Namun, menurut keterangan Ketua Badan SAR Nasional, Daryatmo, posisi pesawat pada saat hilang kontak berada pada koordinat 06° 43" 08" Lintang Selatan dan 106° 43" 15" Bujur Timur (detikcom).
Petaka Penerbangan Nasional
Dunia penerbangan nasional seakan tak pernah lepas dirundung duka. Mengacu pada data aktual, di tahun 1995, Merpati Nusantara Airlines rute Bima-Ruteng jatuh di dekat pulau Flores. 10 orang penumpang dan 4 awak pesawat tewas. Tahun 1997, Garuda Indonesia rute Jakarta-Medan jatuh di desa Buah Nabar, Medan. Seluruh 234 penumpang dan awak pesawat tewas.
Tahun 2002, Garuda Indonesia Penerbangan 421 rute Mataram-Yogyakarta mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo. Satu orang pramugari tewas, sementara 59 penumpang selamat. Tahun 2004, Lion Air rute Jakarta-Surakarta tergelincir saat mendarat di Bandara Udara Adisumarmo, Solo. 26 penumpang tewas dan 142 penumpang luka-luka.
Tahun 2005, Pesawat Boeing 737-200 Mandala Airlines gagal take off dari Bandara Polonia, Medan dalam penerbangan menuju Jakarta. Dari 117 orang penumpang dan awak, hanya 17 yang selamat. Korban dari masyarakat di darat, 41 orang dinyatakan tewas.
Tahun 2007, Pesawat Adam Air rute Surabaya-Manado jatuh di Selat Makassar, di kedalaman 2.000 meter. 102 penumpang dan seluruh awak pesawat tewas. Pada 7 Maret 2007, Pesawat Garuda Indonesia rute Jakarta-Yogyakarta tergelincir saat mendarat di Bandar Udara Adisucipto, Yogyakarta. 22 orang penumpang tewas dan 118 penumpang lainnya selamat.
Tahun 2011, Pesawat Merpati Nusantara Airlines dengan nomer penerbangan 8968 jatuh di perairan dekat Bandar Udara Utarom, Kaimana, Papua Barat. Seluruh penumpang Tewas. Sementara pada 29 September 2007, Pesawat Nusantara Buana Air Penerbangan 823 jatuh di Langkat, Sumatera Utara. 18 orang penumpang dan awak pesawat tewas.
Kondisi transportasi udara nasional yang penuh petaka ini, sempat membuat Garuda Indonesia tak boleh terbang di wilayah udara Uni Eropa. Rentetan peristiwa kecelakaan moda transportasi udara dalam satu dasawarsa terakhir kian menunjukkan buruknya kinerja manajemen transportasi publik di negeri ini.
Di Indonesia, berbagai temuan menunjukkan, kasus kecelakaan yang terjadi dalam berbagai moda transportasi publik merupakan sinerji dari faktor manusia, teknologi, dan mata rantai sistem transportasi yang nyaris sempurna. Artinya, faktor indisipliner, rendahnya tanggung jawab, teknologi transportasi yang usang, dan buruknya manajemen adalah bagian dari wajah sistem transportasi yang sama buruknya.
Berbagai kecelakaan transportasi publik dalam dua bulan terakhir yang menewaskan hampir seribu orang itu, sesungguhnya merupakan puncak komplikasi dari bobroknya mental aparat kekuasaan di Indonesia. Hilangnya kawasan hijau di perkotaan atau fasilitas publik di kawasan perumahan, sedikitnya pelampung dan sekoci di kapal angkutan, rendahnya tingkat keselamatan pada transportasi udara, rusaknya gerbong dan rel kerta api menunjukkan betapa negara telah gagal dalam melayani rakyatnya.
Sebaliknya, sulitnya rakyat mengurus KTP tanpa duit, rumitnya berurusan dengan pengadilan, sukarnya memenjarakan pelaku illegal logging, atau ruwetnya berurusan dengan polisi tanpa angpau, memperlihatkan betapa birokrasi dan aktor-aktor pelayan publik masih bermental korup. Alih-alih fungsi negara sebagai pelayan rakyat, yang terjadi adalah rakyat melayani negara. Alih-alih fungsi negara sebagai penyelamat warga, yang terjadi negara membiarkan bencana dan celaka menimpa warganya.
Mental birokrasi yang korup ini telah menggerogoti secara hampir permanen berbagai institusi pelayan publik negeri ini. Mental koruptif ini merupakan akar dari merebaknya berbagai petaka sektor transportasi publik. Lihat saja pembelian berbagai alat transportasi publik yang di mark up, kapal tua dan tak layak tetap diijinkan beroperasi, biaya perawatan yang bisa direduksi, atau kapasitas muatan yang tidak dibatasi.
Ketika pemerintah menolak untuk mengangkat black box pesawat Adam Air dengan alasan tak punya cukup dana, itu sudah cukup mengindikasikan minimnya tanggung jawab negara dalam mengungkap sebab kecelakaan yang menimpa puluhan nyawa warganya. Hal yang sama juga terlihat dari paniknya negara dalam menangani korban lumpur panas Lapindo, termasuk gempa bumi di Solok dan tanah longsor di Manggarai.
Secara teoritis, menurut Robert I Rotberg (2002), sebuah negara dianggap gagal (failed state) jika ia tak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk kebutuhan keamanan dan keselamatannya. Sindrom negara gagal dapat dilihat dari beberapa indikator sosial, ekonomi, politik, maupun militer, seperti keamanan dan keselamatan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama terus bergolak, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, timpangnya kesempatan pendidikan, langkanya peluang kerja, lemahnya pemerintah pusat dalam mengatasi masalah dalam negeri, dan tunduknya negara atas tekanan asing.
Elite yang berkuasa menolak transparansi, pengawasan, dan akuntabilitas. Sementara sindikat-sindikat politik dan ekonomi berkolusi dengan pemerintah. Pelayanan publik, seperti keamanan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi merosot tajam. Proses pembusukan terjadi di pusat kekuasaan. Aparatur negara inkompeten, birokrasi bobrok, kepemimpinan lemah, serta kondisi ekonomi terus memburuk akibat korupsi, kolusi, nepotisme, praktik pencucian uang, dan pelarian modal.
Sebuah negara bangsa lahir untuk memberi kemaslahatan (social walfare). Sementara negara terlihat tak mampu (atau mungkin tidak mau) melaksanakan fungsi utamanya, yakni menjamin, menyediakan, dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dalam bahasa Joseph Stiglitz (2005), kinerja sebuah pemerintahan negara bisa dikatakan berhasil jika ia mampu merumuskan dengan jelas arah kebijakan pembangunannya, terutama perbaikan atas kualitas pelayanan rakyat. Inilah yang disebut Stiglitz sebagai governance corporatism, yaitu sebuah perpaduan tanggung jawab dari institusi negara, institusi politik, dan institusi publik yang mampu menghimpun berbagai resources yang ada untuk menggapai kemaslahatan bersama.
Governance corporatism dibutuhkan sebagai landasan hukum negara dalam menyusun berbagai kebijakan yang propublik, termasuk menjaga keselamatan publik dari bentuk-bentuk kelalaian negara. Sebab jika keselamatan dan nyawa warga negara dapat melayang kapan saja, baik akibat bencana alam maupun malapetaka transportasi, maka negeri ini tak akan lagi menyandang negeri penuh senyum dan pesona, melainkan negeri maut yang penuh bencana.
Kecelakaan transportasi beruntun dapat menimbulkan implikasi sosial dan ekonomi yang serius bagi bangsa. Jika laju angka kecelakaan di sektor transportasi publik terus memburuk, investor makin tak sudi menanam modalnya disini. Situasi ini jelas akan makin mendorong tampilnya fenomena patologi sosial, seperti angka pengangguran dan kemiskinan yang menaik serta frustasi sosial dan konflik massa yang makin tajam.
Episode petaka jangan berhenti pada kebijakan parsial, seperti mengganti pejabat di lingkungan Kementerian Perhubungan dan instansi terkait lainnya. Kuncinya, pemerintah harus bisa merubah paradigma keselamatan penerbangan nasional dan berani melakukan reformasi radikal di tubuh birokrasi penerbangan yang bertanggung jawab atas sistem transportasi udara nasional kita.
Sebab, jika pemerintah gagal mengatasi malapetaka di sektor transportasi udara, maka ketidakbecusan itu bisa berujung pada kegagalan negara dalam memberi jaminan keselamatan kepada warga negara. Kasus Sukhoi mudah-mudahan menjadi episode terkahir yang mencoreng wajah keamanan penerbangan nasional negeri penuh petaka ini. ***